Bunyi
alarm membangunkan Dina tepat pukul 05.00. Dina kemudian mengambil air wudhu
dan menyegerakan diri untuk shalat. Seperti biasa, Dina shalat berjamaah
bersama ayah, ibu dan kakak laki-lakinya, Ernes.
Selesai
shalat, Dina bergegas mandi dan menyiapkan segala perlengkapan untuk sekolah.
Begitu juga dengan Ernes, dia menyiapkan segala perlengkapan untuk kuliah.
Setelah selesai, mereka kembali berkumpul untuk sarapan bersama.
Tak
seperti biasanya, hari ini Ernes tidak mau mengantar Dina ke sekolah. Tentu saja
hal itu membuat Dina kesal dan ngambek. Dengan terpaksa, Dina pun ke sekolah
naik angkutan umum karena ayahnya juga tidak dapat mengantar.
Jalanan
yang macet menambah kekesalannya dan menyebabkan Dina terlambat sampai sekolah.
Alhasil, dia mendapat hukuman dari guru piket pada 2 jam pelajaran pertama. Hal
ini membuatnya tidak dapat mengikuti ulangan matematika pada jam pertama.
Segala
kekesalannya tertuju pada satu orang yaitu Ernes. Dina sepenuhnya menyalahkan
Ernes atas segala kesialan yang menimpanya hari ini. Dia sudah berniat untuk
meluapkan segala rasa kesalnya ketika bertemu Ernes nanti dan dia tidak akan
memaafkan Ernes apa pun yang terjadi.
Bel
sekolah berbunyi, menandakan telah tiba saatnya untuk kembali ke rumah. Namun
rasa kesal yang menyelimutin Dina tak kunjung berkurang, malah sebaliknya
karena setiba di rumah nanti dia pasti akan melihat Ernes. Segala kekesalan dan
amarah yang telah membumbung tinggi itu siap untuk diledakan di depan Ernes.
Namun
tanpa di sangka-sangka Ernes pun datang untuk menjemput Dina, tak seperti
biasanya.
“Mas
Ernes mau apa?” tanya Dina ketus membuang muka dari Ernes.
“Mau
jemput kamulah, Din. Ayo kita pulang,” kata Ernes sambil membukakan pintu
mobilnya.
“Nggak
perlu, Dina bisa pulang sendiri”. Dina tak sama sekali mengalihkan pandangannya
kepada Ernes.
“Oh,
Dina masih marah ya karena tadi nggak Mas anter?”
Dina
tak sama sekali merespon perkataan kakaknya. Dia masih menatap ke sudut jalan
menanti angkutan yang lewat tanpa menganggap keberadaan Ernes.
“Dina,
jangan marah, dong. Mas Ernes minta maaf, ya”. Dina tetap tak menunjukkan
respon apa pun.
“Dina,
pulang, yo. Mama dan Papa pasti udah nungguin di rumah. Kita kan mau makan
malam di rumah Om Herman”. Ernes meraih tangan Dina dan menariknya ke dalam
mobil, namun Dina menyentaknya keras dan membentak Ernes.
“Mas
Ernes pulang aja sendiri. Oh ya, bilang sama Mama dan Papa aku nggak ikut ke
rumah Om Herman. Asal Mas Ernes tahu ya, gara-gara Mas nggak mau nganterin Dina
ke sekolah, Dina terlambat dan nggak ikut ulangan Matematika. Lagian Mas Ernes
kenapa sih nggak mau nganter Dina? Padahal kan hari ini kelas pertama Mas Ernes
dimulai jam 08.00, harusnya Mas Ernes masih punya waktu dong untuk nganter
Dina.”
“Maaf,
Din. Tadi pagi Mas ada keperluan dulu, jadi nggak bisa nganter kamu.”
“Terserah
deh apa alasan Mas Ernes, yang jelas Dina nggak mau pulang bareng Mas Ernes,”
bentak Dina.
“Dina,
ayolah. Mama dan Papa udah nyuruh Mas untuk jemput kamu. Ayo, Din.”
“Enggak,
urus aja diri Mas sendiri, nggak usah perduliin aku. Aku nggak mau ikut ke
rumah Om Herman”. Dina memberhentikan angkutan umum yang lewat dan segera naik tanpa
menghiraukan Ernes yang memanggil-manggil namanya.
Walaupun
Dina sudah memaki dan membentak Ernes, namun tak sedikit pun amarah yang
melandanya berkurang, malah semakin menjadi. Ingin rasanya ia kembali memaki
Ernes dan menceritakan segala yang telah dialaminya hari ini kepada ibunya agar
ibunya turut menyalahkan Ernes atas semua ini.
Setiba
di rumah, Dina langsung mengunci diri di kamar. Dia tidak lagi memperdulikan
acara keluargan untuk berkunjung ke rumah Om Herman. Bahkan dia pun tidak ikut shalat
Magrib berjamaah seperti biasanya. Dina berpikir bahwa orangtuanya pasti akan
memaklumi karena Ernes pasti sudah menceritakan kejadian yang mereka alami
tadi. Ernes pun pasti telah menceritakan kepada keduaorangtuanya bahwa Dina mau
ikut ke rumah Om Herman malam ini.
“Tok,
tok, tok” . Dina membuka pintu kamar, berpikir bahwa itu adalah ibunya yang
hendak menengoknya sebelum pergi ke rumah Om Herman.
Di
depan pintu, ibunya berdiri dengan linangan air mata.
“Mama
kenapa?” tanya Dina penasaran sekaligus tak tega melihat ibunya yang selalu
ceria namun kali ini menangis.
“Kita
harus ke rumah sakit, sayang. Ayo, ganti bajumu.”
“Siapa
yang sakit, Ma?”
“Nanti
Mama kasih tahu, tapi kamu cepat ganti baju ya. Mama tunggu di mobil.”
Dina
bergegas mengganti pakaiannya sambil bertanya-tanya di dalam hati siapa orang
yang dimaksud ibunya. Setelah selesai, dia segera menuju mobil tanpa memikirkan
lagi niatnya untuk mengadukan kejadian yang dialaminya hari ini kepada ibunya.
Di mobil sudah ada ayah dan ibunya, namun tidak ada Ernes disana. Walupun terasa
janggal, namun Dina tidak mau memikirkannya, toh dia masih kesal pada Ernes.
Sampai
di rumah sakit ibunya langsung menarik tangannya menuju UGD.
“Ma,
siapa yang masuk UGD?”
Ibunya
tidak menjawab sampai akhirnya dia menemukan Ernes yang sedang terbaring dan
mengerang menahan sakit dengan pakaian yang bersimbah darah.
“Mas
Ernes,” panggil Dina lirih.
“Hai,
Dina”. Ernes menolehkan wajah ke arah Dina sambil tersenyum.
“Mas
Ernes kenapa?” tanya Dina dengan perasaan terenyuh.
“Sewaktu
pulang dari sekolahmu Ernes mengalami kecelakaan, Din,” kata ayahnya
menjelaskan.”
“Aaa…”
Ernes mengerang kesakitan sambil memeggangi dadanya.
“Ernes,
kamu nggak apa-apa, kan?” tanya ibunya.
“Nggak
apa-apa kok, Ma”. Ernes berusaha mengeluarkan suaranya dengan penuh kesakitan.
“Oh
ya, Ernes mau menjelaskan sesuatu kepada Dina biar nggak ada kesalahpahaman.”
Ernes
menarik napas dalam, berusaha membebaskan diri dari kesakitan dan melanjutkan
kata-katanya, “Sebenarnya tadi Mas Ernes nggak bisa nganter kamu karena…” Ernes
kembali menarik napas dalam untuk mengalihkan rasa sakitnya. Kemudian dia
melanjutkan, “karena Mas pergi ke toko, beli boneka untuk hadiah ulang tahun
kamu besok.”
Ernes
kembali menarik napas panjang.
“Mas
takut nggak sempet kalau belinya sepulang kuliah. Belum lagi seharusnya kan
kita ke rumah Om Herman sekarang.”
Ernes
kembali menarik napas dalam berkali-kali. Rasa sakitnya kali ini lebih dahsyat,
dia merasa sudah tidak sanggup lagi untuk menahannya. Namun Ernes menguatkan
diri untuk melanjutkan kata-katanya kepada Dina.
“Dina,
tapi maaf ya, bonekanya udah nggak sebagus tadi. Mas udah minta tolong suster
bawain ke sini. Itu dia, jelek ya Din?” kata Ernes menujuk boneka beruang besar
di sudut ruangan. Warna bulu-bulunya yang putih sudah berubah menjadi merah.
Warna merah yang masih terlihat basah dan begitu pekat karena darah Ernes.
Dina
tak kuasa melihatnya, dia membekap mulutnya dengan kedua tangan. Air mata pun
mulai jatuh membasahi pipinya.
“Hei
Dina, jangan nangis. Happy Birthday, ya.” Ernes mengulurkan tangannya yang
masih menyisahkan bercak-bercak darah kepada Dina.
Dina
pun menyambutnya penuh dengan perasaan sesal dan haru. Andai saja dia
mengetahui rencana Ernes ini, dia pasti tidak akan membentak Ernes seperti
tadi. Tak ada lagi kekesalan, yang ada hanyalah rasa bersalah dan pedih yang
amat mendalam di dalam hatinya.
Tangan
Ernes pun mulai melemah, sampai akhirnya terbujur kaku dengan senyuman hangat
di wajahnya. Tak kuat, Dina pun jatuh tersungkur dan melepaskan tangan Ernes.
Ingin rasanya dia mengulang hari ini dan tak membiarkan hal itu terjadi pada
Ernes. Namun apalah daya, segalanya telah terjadi dan sesal tak ada artinya.
Ernes telah pergi meninggalkan Dina, jauh dan selamanya.